Hingga hari ini, ada
beberapa sebab teramat mengganjal dihati. Sewaktu kecil, saya mengaji di surau
yang tak jauh dari rumah. Tiap Sore hari, sepulang bermain. Kemudian mandi,
mengenakan celana pendek, kaos sepak bola klub inter milan kalo tidak salah berwarna
biru hitam yang sering saya gunakan. Sarung diselempangkan, tak lupa membawa
peci hitam yang tepinya sudah berwarna coklat karena terlalu sering dipakai. Pergi
ke surau kalau sudah hampir adzan maghrib, sering disebut surup kalo dalam bahas jawa. Hingga kira-kira usia saya menginjak
12 tahun, saya mengundurkan diri dari proses mengaji karena kawan-kawan
seumuran saya sudah kukut terlebih dulu. Penyebabnya sungguh klasik, jika sudah
menginjak SMP, kebiasaannya ialah sudah tidak mengaji. Kalo dikata, sudah
besar, waktunya ngaji disurau sudah berakhir. Tentu, saya mengikuti langkah
teman-teman. Mengaji dirumah, lebih tepatnya ngajinya bolong-bolong, karena
alasan sibuk belajar ketika SMP, terus berlanjut sibuk Belajar ketika SMA.
Perlahan-lahan, dengan semakin rumitnya khittah kehidupan, pergantian gubernur,
presiden, tradisi saya mengaji sehabis
maghrib, benar-benar berakhir ketika saya menjadi Mahasiswa. Tentunya, saya
sangat menyesal. Penyesalan memang berada pada akhir. Bukan di awal. Seperti
halnya saya menyesal kenapa tidak bisa memilikimu (ngok).
Pada zaman sekarang,
zaman dimana kekayaan menjadi tolak ukur suatu kesuksesan, kendaraan atau
tunggangan menjadi kewajiban, dan kuota internet adalah suatu kebutuhan. Saya
mengamati banyak para kaum terpelajar, tidak terpelajar, kaum kagetan,
sliwar-sliwer di sebuah sosial media dan media nyata. Jikalau sliwar-sliwernya
itu menyampaikan kebaikan, saya sangat bersyukur. Namun, jika yang disampaikan
ialah provokasi, mengucilkan kaum minoritas, menindas kaum-kaum pinggiran, itu
yang sedikit saya tidak rela. Sebentar-sebentar, mari kita kencangkan ikat
pinggang sembari melihat ilalang yang melambai-lambai.
Coba lihat, akun-akun
macam portal piyungan.com, ustadz terbaik saat ini felix siauw, front pembela
islam milik habieb rizieq sahab. Kebanyakan dari mereka berdakwah, membela
agama islam, dan menyampaikan kebaikan-kebaikan. Takbir...
Bukan perkara apa
memang ya, akhir-akhir ini, banyak para pemuda yang mengatasnamakan mahasiswa,
berbondong-bondong mengaji lewat seminar, kajian rutin setelah jum’atan atau
diskusi hadist sahih di tiap bulan. Saya dulu, ketika menjadi mahasiswa sungguh
tertarik dengan kajian-kajian macam itu. Mendatangkan ustdz prestatif, mengaji
lewat bantuan yutub atau sebagainya. Menemukan teman baru, lingkungan baru dan
tentunya kebiasaan-kebiasaan baru. Diawal, saya sering di esems oleh akhi
senior. Sembari berkata ini, dan itu. Diajak kajian disana dan disitu. Pelan-pelan
saya mencoba menikmati, mencari jati diri sembari tengok sana dan sini. Kamsud
saya, ada yang tidak nyaman dalam hal diskusi disana. Sebab atau perkaranya
belum saya temukan hingga saat ini. Healah mbuh lah. Ruwet mikiri
Seiring berjalannya
waktu, hingga hari ini, kembali. Saya hanya merindukan suasana mengaji di surau
dulu. Bertemu kawan, lawan dan kiyai. Ya Allah. Aku pengen ngaji disurau,
bercengkerama, kadang sering di pecut karena guyon pas saat sholat dan sekali-kali selametan jika ada yang
hatam qur’an.
0 komentar:
Posting Komentar